PENDIDIKAN INKLUSI - SUPARJO.M.Phil
PENDIDIKAN INKLUSI
Oleh
Suparjo, SPd. MPhil.
A.
Pengantar
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki
kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya
tanpa terkecuali anak yang memiliki kelainan atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem
pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan
munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama,
etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki
oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa
untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis kelainannya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara ABK dengan anak – anak normal lainnya. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok ABK menjadi komunitas yang terpinggirkan dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok ABK. Akibatnya ABK merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Layanan pendidikan ABK di SLB atau sekolah khusus yang eksklusif ini sudah mulai bergeser menjadi inklusif (bergabung) di sekolah umum (sekolah reguler).
B. Pengertian
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan layanan pendidikan yang
berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan
yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan
reguler. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status
sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah
pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak
lainnya (anak normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Pendapat lain mengatakan Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang
memberikan layanan kepada setiap anak tanpa terkecuali. Pendidikan yang
memberikan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental,
intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat
tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik di kelas/
sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. (Pendidikan yang Terbuka Bagi Semua, Djuang
Sunanto, 2004:3). Maka dari itu
sudah saatnya sekolah sebagai tempat layanan pendidikan seharusnya dapat
memberikan layanan pendidikan yang
fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa.
C.
Landasan
1.
Landasan Filosofis:
Pendidikan Inklusif didasari semangat keterbukaan, merangkul semua
kalangan, multikultural, belajar mengerti, menerima, serta menghargai orang
lain. Mereka belajar bersama tidak hanya mengejar prestasi akademik tetapi
lebih kepada mengenal kehidupan itu sendiri. Pendidikan inklusif didasari
gerakan pendidikan untuk semua
(Education for All ).
1.
Landasan
Yuridis
a.
UUD 1945
pasal 31
b. UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003 tentang pemberian warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi
anak berkelainan;
c. SE Dirjen
Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tentang Rintisan Pelaksanaan
Pendidikan Inklusi.
d.
Permendiknas
nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
D. Perkembangan Pendidikan
Inklusi
Pendidikan inklusi sudah berkembang sejak tahun 1990-an di beberapa negara Eropa
seperti Inggris, Belgia, Spanyol, Denmark, Norwegia, Swedia, dll. Banyak
undang-undang yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi diantaranya: Salamanca Statement 1994 dan Convention on the Rights of Person with
Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24
dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan.
Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi
penuh ABK dalam kehidupan masyarakat.
Di Indonesia pendidikan inklusi baru mulai dirintis tahun 2000-an. Beberapa
sekolah uji coba diterapkan di beberapa kota seperti Yogyakarta, Bandung,
Jakarta, dan Surabaya. Tahun 2004 gerakan pendidikan inklusi secara resmi
dideklarasikan di Bandung. Jumlah sekolah inklusi kini berkembang terus.
Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kemendiknas awal tahun
2011 terdapat 624 sekolah inklusi baik SD, SMP, dan SMA. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan banyak
persoalan terutama yang berkaitan dengan masih kurangnya kesadaran dari banyak
pihak.
Di Propinsi Jambi tahun 2004 baru mulai dirintis dengan ditunjuknya 3
Sekolah Dasar Negeri: satu di Kota Jambi (SDN No. 131/IV Telanaipura), satu di Kabupaten Muara Jambi (SDN
no.2/IX Sakernan) dan satu
lagi di Kabupaten Bungo. Di tiga sekolah ini pendidikan inklusi berjalan dengan
berbagai hambatan dan kesulitan yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan
dari berbagai pihak. Seiring dengan
meningkatnya kesadaran (rasa penerimaan,
keterbukaan, keingintahuan) khususnya dari kepala sekolah dan sebagian guru
reguler kini sekolah inklusi makin berkembang. Pendidikan inklusi di Jambi bukan hanya berlangsung
di beberapa Sekolah Dasar tetapi juga di beberapa SMP dan SMA/SMK. Daftar siswa inklusi Propinsi Jambi hingga Maret 2012 terdapat 72 orang
siswa inklusi yang terdiri dari siswa SD,SMP dan SMA/SMK (Sumber dari Ketua Forum Komunikasi Inklusi
Propinsi Jambi, Maret 2012)
E. Manfaat Pendidikan Inklusi
Penyelenggaraan
pendidikan inklusi memiliki manfaat antara lain:
1. Anak cacat (ABK) merasa lebih dihargai
karena hak belajarnya disamakan dengan kawan normal lainnya.
2. Rasa takut anak normal terhadap anak cacat
kian terkikis karena interaksi setiap hari antar mereka.
3. Menanamkan toleransi dan rasa menghargai
anak normal terhadap ABK.
4. Tempat belajar ABK menjadi lebih dekat (disarankan sekolah
yang tidak jauh dari rumah ABK).
5. Meningkatkan rasa percaya diri ABK (kalau
layanan pembelajarannya memperhatikan kebutuhan dan potensi siswa)
Pelaksanaan pembelajaran ABK yang dapat
diterapkan di sekolah inklusi dapat dilaksanakan seperti model berikut:
1. Model inklusi penuh yaitu bagi ABK yang
tidak mengalami gangguan intelektual mengikuti pelajaran di kelas biasa.
2. Model Cluster yaitu para ABK dikelompokkan
tapi masih dalam satu kelas regular dengan guru pembimbing khusus (GPK).
3. Model Pull out yaitu ABK ditarik ke ruang
khusus untuk kesempatan dan pelajaran tertentu, didampingi guru pembimbing khusus (GPK).
4. Model Kelas khusus, sekolah inklusi menyediakan
kelas khusus bagi ABK yang dilayani
oleh GPK, namun untuk
beberapa kegiatan pembelajaran tertentu siswa digabung dengan kelas reguler.
G. Kurikulum dan Penilaian
Menurut Permendiknas no. 70 tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusi, satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi
menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan
dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya. Pembelajaran pada
pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-prinsip pembelajaran yang
disesuikan dengan karakteristik belajar peserta didik. Masalah penilaian hasil
belajar ada beberapa ketentuan sebagai berikut:
1.
Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusi mengacu pada
jenis kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Peserta
didik ABK yang mengikuti pembelajaran berdasarkan kurikulum yang
dikembangkan sesuai dengan
standar nasional pendidikan atau di atas standar
nasional pendidikan wajib
mengikuti ujian nasional.
3. Peserta
didik ABK yang memiliki kelainan dan mengikuti pembelajaran berdasarkan kurikulum
yang dikembangkan di bawah standar pendidikan mengikuti ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
4. Peserta
didik ABK yang menyelesaikan dan lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh Pemerintah.
5. Peserta
didik ABK yang memiliki kelainan yang menyelesaikan pendidikan berdasarkan kurikulum
yang dikembangkan oleh satuan pendidikan di bawah standar nasional pendidikan
mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya dikeluarkan oleh satuan
pendidikan yang bersangkutan.
6. Peserta
didik ABK yang memperoleh surat tanda tamat belajar dapat melanjutkan
pendidikan pada tingkat atau jenjang
yang lebih tinggi pada satuan pendidikan
yang menyelenggarakan
pendidikan inklusi atau satuan pendidikan khusus.
(Mudah-mudahan
bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar